Rabu, 12 November 2014

LENG








“LÈNG”
Makam Kyai Bakal ramai pengunjung.
Peziarah dari berbagai kalangan, berbagai golongan bertirakat untuk meminta berkah dari pasarean keramat di desa Bakalan.
Tapi kekhusyukan doa setiap malam yang dipimpin juru kunci makam, pak Rebo, selalu terganggu oleh deru mesin pabrik yang memekakkan telinga.
Namun itu baru gangguan kecil. Bahaya besarnya adalah rencana perluasan pabrik yang bakal menggusur seluruh areal desa Bakalan, termasuk pasarean Kyai Bakal.
Situasi ini membuat Bongkrek (bekas mandor pabrik) marah. Tanpa bisa ditahan oleh mbok Senik dan Kecik, Bongkrek nglurug dan membakar pabrik.
Situasi itu membuat Bedor, tangan kanan sang juragan pabrik marah dan terpaksa menghabisi Bongkrek dengan berondongan tembakan peluru mesiu.
Naskah               : Alm. Bambang Widoyo SP
Penasehat          : Trisno Pelog Santosa
Ketua Umum     : Budi Prasetyo
Sutradara          : Djarot B. Darsono




Beberapa waktu lalu, kami sekeluarga menyempatkan diri menonton sebuah pertunjukan teater yang dipentaskan di ged. Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Selain kami sudah cukup lama tidak menikmati pertunjukan teater, kebetulan beberapa pemainnya adalah kawan-kawan kami juga. Sindhu kecil kami yang sudah terbiasa menonton berbagai seni pertunjukan cukup bersemangat juga rupanya. Sebelumnya dia juga pernah menonton pementasan teater, yaitu “GUNDALA GAWAT” naskah Gunawan Mohammad, yang juga dipentaskan oleh teater Lungid tahun 2013 lalu. Pada mulanya teater Lungid bernama teater GAPIT, berdiri tanggal 22 Januari 1981, dipimpin oleh Sri Wiyono dan Bambang Widoyo (Alm) yang akrab dipanggil Kenthut. Bambang Widoyo wafat usia 39th, pada tahun 1996. Setelah itu GAPIT vakum dan para anggotanya menjalani kehidupan berkeseniannya masing-masing. Hingga akhirnya mereka kembali bergabung dan membentuk teater Lungid sejak 1 Oktober 2008. Kini Lungid sedang berupaya untuk meregenerasi diri, sehingga menampilkan pemain-pemain muda yang diharapkan sebagai generasi penerus teater Lungid.
Gedung Teater Arena di TBJT merupakan sebuah gedung pertunjukan dengan bagian dalam berbentuk arena, yaitu panggung pementasan berada di tengah dengan level rendah, sementara kursi penonton berada di sekelilingnya dalam formasi huruf “U” dengan posisi yang lebih tinggi sekaligus semakin meninggi di bagian belakangnya. 


Oke, sekarang kembali ke LÈNG..
Pertunjukan diawali dengan nyanyian-nyanyian berbahasa Jawa yang merupakan medley dari beberapa lagu terkenal, juga lagu ciptaan sendiri yang menceritakan tentang sang sutradara, dengan iringan dari beberapa instrumen gamelan. Sebagian penyanyi adalah para pemain yang nantinya akan tampil di panggung. Setelah beberapa sambutan kecil dari ketua, pentaspun dimulai.
Cerita diawali dengan setting di makam Kyai Bakal, dimana ditampilkan sejumlah orang yang sedang berdoa di depan makam tersebut. Dilanjutkan dengan percakapan antara pak Rebo si juru kunci makam, mbok Senik, Janaka dan Bongkrek. Bongkrek mempersoalkan tentang pabrik yang suara mesinnya sangat mengganggu. Bergulir ke skene berikutnya yaitu antara Juragan dan Bedor tangan kanan sang juragan. Di sini ditampilkan sang juragan yang tampaknya tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan, sehingga dia selalu merasa ketakutan terhadap orang-orang yang dianggapnya akan mencelakai dan menghilangkan kekayaannya. Kisah bergulir bergantian antara makam dan pabrik. Ketegangan semakin memuncak saat Bongkrek membuat huruhara di pabrik dan diakhiri dengan kematian Bongkrek di tangan  Bedor.

”Lèng”merupakan sebuah kata dalam bahasa Jawa, yang artinya adalah liang atau lobang. Lèng identik dengan liang atau lobang yang berukuran tidak terlalu besar bahkan cenderung kecil, biasanya menjadi rumah bagi hewan-hewan berukuran cukup kecil seperti ular, landak, kelinci, atau tikus. Berikut saya sertakan keterangan mengenai naskah tersebut sebagaimana yang tertera dalam booklet:
Pentas Leng, garapan lama atau baru dari sisi cerita: tetaplah sebuah potret teriakan tak berdaya dari orang-orang yang tergusur, bahkan orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari kuburan keramat Kiai Bakal.
Leng pada hakikatnya adalah cerita orang-orang yang terjebak dalam pusaran, sebuah lubang yang bengis. Pusaran itu acap kali begitu rakus dan tak pilih-pilih, ketika hendak menelan mangsanya ke lubang sebelum melumatnya, bahkan tanpa menyisakan apapun, apalagi sebagai sejarah. Apalagi sejarah suatu bangsa! Secara spesifik, Bambang Widoyo Sp. Seolah-olah ingin meneriakkan rakusnya industrialisasi dan arus kapitalisme global. Ia bicara mengenai si kapital besar yang selalu menjadi sang pemenang dan orang-orang tak bermodal yang selalu hanya berstatus sebagai pecundang, dan menyisakan korban tanpa nama.
Kerudung kain putih yang tampak baru itu menyelubungi pasarean kyai Bakal, sebuah makam yang dikeramatkan di selatan kota Solo. Makam yang selalu dikunjungi berbagai kalangan: pedagang besar-kecil, pejabat pusat-lokal, selalu datang meminta berkah sang kyai. Dan belakangan, makam itu semakin ramai oleh berbagai pengaduan, khususnya dari warga sekitar.
Ketentraman pedesaan terganggu karena kehadiran pabrik, yang makin lama makin besar dan menciptakan suara-suara bergemuruh. Selain itu, mereka juga menghadapi kesewenang-wenangan pemilik pabrik, pemegang kekuasaan di wilayah itu yang telah disahkan oleh penguasa lokal dan pusat. Kekuasaan yang menggusur tanah warga dan memecat siapa saja, bahkan “menghilangkan”siapapun yang berani menolak kehendak sang majikan.

Naskah yang ditulis pada kurun waktu 1984-1985 ini telah belasan kali dipentaskan di Solo, Semarang, Salatiga, Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Sebagai seorang penikmat dan samasekali tidak memiliki latar belakang teater, saya bisa mengatakan bahwa naskah ini akan selalu bisa dipentaskan dimana saja, kapan saja, dan mungkin akan selalu relevan dengan keadaan/masa pada saat pementasan. Hal ini karena meskipun naskah ini dibuat puluhan tahun lalu, namun saat menontonnya saya merasa seakan naskah tersebut saat ini sedang terjadi di tengah masyarakat kita. Akan tetapi, terlepas dari konteks globalisasi dan kapitalisasi, saya lebih tertarik dengan melihatnya dari sisi psikologis. 

Karakter yang pertama menarik perhatian saya adalah Juragan.  Bagi saya sang Juragan adalah gambaran seorang yang tengah sakit jiwa, meskipun mungkin masih dalam taraf psikotik namun tampaknya hampir mendekati skizophrenia. Hal ini ditandai dengan dia selalu merasa ketakutan, merasa mendengar, merasa melihat, bahwa orang-orang akan melucutinya, membunuhnya, mendemonya, merusak pabriknya ataupun merampas kekayaaannya. Akan tetapi dia juga sadar selalu ingin meluaskan pabriknya agar semakin menambah kekayaannya.  Si Juragan ini sangat percaya pada Bedor si tangan kanannya dan sering kali si Bedor inilah yang mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah majikannya. Lucunya, saya merasa kondisi jiwa seperti ini sedang banyak dialami oleh pengusaha-pengusaha besar di Indonesia. Entah benar atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. Lalu ada karakter Bongkrek, yang bagi saya merupakan gambaran dari api yang ada di hati manusia. Dia (api) mungkin bisa berubah wujud, hanya sebagai bara, atau percikan-percikan kecil, apapun itu namun pada intinya panas itulah yang selalu membuatnya hidup dan menggeliat. Hingga pada akhirnya panas tersebut bisa semakin besar dan bahkan membakar sang pemilik api itu sendiri. Sementara, karakter-karakter yang lain menunjukkan sifat dan sikap-sikap orang kebanyakan yang tidak berdaya terhadap perubahan-perubahan di sekitarnya. 

Kini saya ingin menyoroti dari sisi pementasan, tentunya dari kacamata saya sebagai penonton biasa dan bukan penonton yang expert, sekali lagi harap maklum, kalo mungkin pendapat saya akan berbeda dari orang-orang yang berlatar belakang seni. Dari sisi penataan artistik, menurut saya sudah bagus. Dengan skenerinya, baik property di panggung maupun tata lampu yang digunakan sudah menggambarkan suasana yang ingin dimunculkan. Dalam hal ini mungkin berupa realita keadaan desa yang muram. Namun demikian dari segi tontonan secara keseluruhan, bagi saya rasanya kok kurang menimbulkan getaran di hati, kurang... “ugh”... gitu. Entah penonton lain juga merasakan ini atau tidak atau bisa juga karena kurangnya pengetahuan saya di dunia teater. Akan tetapi hal ini ternyata kurang lebih hampir sama dengan yang dirasakan Mas Ton (Teater Lingkar, Semarang) saat kami sempat berbincang sejenak seusai pementasan. Baik beliau maupun saya dan Sindhu, keluar gedung saat pertunjukan menjelang selesai. Bagi saya, saat menyaksikan jalannya pertunjukkan saya seakan sedang melihat orang-orang yang menampilkan drama dengan hapalan. Bahwa setelah kalimat ini, harus berkata ini, dan berjalan kesini lalu melakukan ini. Akibatnya, bagi saya, hampir keseluruhan adegan terasa (sedikit) kurang natural. Memang sempat ada sedikit “letupan-letupan”, tapi segera hilang tak berbekas. Bisa jadi hal ini dari materi para pemainnya yang sebagian besar masih muda, bahkan mungkin ada juga yang “baru” di dunia teater. Bisa juga dari waktu latihan atau proses yang tidak terlalu lama, atau bisa juga dari dangkalnya pengetahuan saya(sepertinya alasan terakhir ini yang paling benar, hehehe). Akibatnya, dengan durasi yang lebih dari satu jam, naskah ini terasa semakin berat.  Dan bila sesuai jadwal, teater Lungid akan mementaskan kembali naskah ini di Yogya, maka tentunya akan perlu banyak pembenahan dan latihan lagi agar tercapai hasil yang lebih baik.




Tidak ada komentar: